Seorang laki-laki dari negeri Sudan berjumpa dengan seorang laki-laki Indonesia. Karena melihat demikian ramai wanita-wanita Indonesia. Ia bertanya.
“ Akan pergi kemana para wanita itu.?”
“”mereka akan pergi ke Arab Saudi untuk bekerja.” Jawab orang Indonesia.
“Bekerja apa mereka disana.” Tanya orang Sudan lagi.
“Mereka bekerja disana sebagai pembantu.” Jawab laki-laki Indonesia.
Laki-laki Sudan berkata, :Apakah negeri Anda begitu papa sehingga Anda harus mengirim perempuan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga.? Tahukah Anda apa yang berlaku pada diri mereka yang bekerja dirumah-rumah besar itu?”
Merasa tidak dijawab si Sudan meneruskan : “Negeriku adalah salah satu negeri yang termiskin di dunia. Rakyatku sering menderita kelaparan, tetapi kami tidak pernah mengirimkan perempuan untuk bekerja di luar negeri sebagai pembantu, khususnya tidak kesebuah negeri yang memandang rendah kaum perempuan.
Si Indonesia tidak bisa berucap apa-apa, Dia hanya terdiam kecut. Bagaimana Ia aka menjawab terhadap pertanyaan yang begitu perih? Di Tanah Air pun tak seorangpun pernah memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang serupa itu.
Percakapan itu terjadi pada awal 1990 yang dikutip disebuah surat kabar. Sengaja saya kutip untuk mengingatkan teman-teman kita, janganlah karena kemiskinan kita pertaruhkan martabat para wanita kita.
Memang ini kesalahan Bangsa kita, sehingga sebagian anak Bangsa harus membanting tulang di negeri orang meski menjadi tenaga kerja karena sempitnya lapangan kerja di negeri sendiri.
Banyak diantara mereka sebelum berangkat ditipu oleh calo tenaga kerja, sampai di tempat tujuan diperlakukan sebagai separuh manusia. Tentu tidak semua bernasib begitu. Bila induk semangatnya adalah seorang yang bermartabat, para pekerja kita akan diperlakukan secara bermartabat pula, sebagai manusia penuh. Jika si Boss seorang yang haus seks sekalipunsudah punya isteri, tidak jarang TKW kita dijadikan tempat pelampiasannya. Tidak sedikit pula yang di Dzalimi dan disiksa sampai lumpuh.
Kita telah memperingati Indonesia merdeka lebih dari 60 tahun, tetapi sebagian kita belum sepenuhnya menikmati kemerdekaan itu.